Kurus = Tidak Bahagia?

Setelah melahirkan anak kedua, berat badan saya yang sempat naik 18 kg berhasil turun ke berat semula (bahkan defisit 2 kg) dalam waktu 6 bulan saja. Iya saya berhasil menurunkan berat badan 20 kg

Berbeda dengan saat melahirkan anak pertama, saya hanya berhasil menurunkan 18 kg dari total 20 kg kenaikan berat badan selama hamil

Jadi setelah kelahiran anak kedua, saya bisa mencapai berat badan saya saat sebelum menikah 😀

Tadi siang saya menghadiri acara keluarga. Sepupu dekat saya (*yang rada jarang ketemu) membuat syukuran untuk rumah barunya. Dan ketika bertemu, dia langsung menarik saya dan menginterogasi, “kenapa kamu kurus banget?” Saya jawab sambil cengengesan “iya dong, kan mesti diet dan jaga makan”dengan muka agak menuduh si kakak sepupu saya bilang “yakin? Bukan karena stress sama suami kamu?” lalu saya ngakak sepuas hati 😆😆😆

Mungkin seharusnya saya ga perlu kaget, mengingat sepupu saya dari Om dan Tante yang ini memang terkenal overprotektif pada saya. Mereka empat bersaudara, semuanya laki-laki, dan saya sering menjadi anak kelima dan perempuan satu-satunya mereka. What a privilege 😆

Tapi ga cuma sepupu saya, memang ada kelompok orang tertentu yang mengidentikkan kurus itu karena tidak bahagia, dan benar juga sih, orang-orang yang tidak bahagia mungkin lelah berpikir setiap harinya, sehingga mungkin tanpa disadari badannya jadi mengurus. Jangan lupa juga, ada kelompok orang yang kalau tidak bahagia atau stress, larinya malah ke makanan, emotional eater kalau istilah saya 😆 jadi ya tidak bisa serta merta disimpulkan kalau kurus itu tidak bahagia kan yaaa 😜

If you ever read this my big brother, I ensure you, I am happy right now with my little family 😄 and thank you for always thinking about my happiness :):)

#day106

Leave a comment